Ian Antono, sebagai anak sulung, selalu merasa terbebani sebagai panutan bagi adik semata wayangnya, Uta. Tekanan itu semakin terasa ketika Ia berjuang mengejar mimpinya sebagai musisi bersama band yang dibentuknya. Ditambah dengan perbandingan terus-menerus dengan Uta, Ian mengalami kegagalan demi kegagalannya, hingga kehilangan orang tua secara tiba-tiba. Duka tersebut perlahan-lahan membuat Ian “mati rasa”—tutup terhadap harapan dan emosi. Dalam situasi emosional ini, Ian dan Uta dipaksa untuk menghentikan rivalitas lama demi saling mendukung dan menemukan kembali arah hidup dan tujuan mereka.